Kalau kamu pikir perjuangan pengabdian masyarakat itu cuma soal ngajar anak-anak dan dokumentasi buat bikin slide PPT, mungkin kamu belum pernah menempuh perjalanan
ke Dusun Kepetingan.
Lokasinya di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo—tapi jangan terkecoh, karena label “Buduran” tidak otomatis berarti gampang dijangkau. Dusun ini seperti dunia tersendiri, lengkap dengan jalur ekstrem, fenomena banjir harian, hingga kisah warga yang bertahan hidup di antara tambak, rawa, dan sinyal yang malu-malu nongol.
Perjalanan Jalur Darat: “Bocor itu bonus. Yang penting nggak nyemplung.”—Sonia
Motoran lewat jalur darat ke Dusun Kepetingan ibarat ikut challenge survival yang nggak dikasih hadiah. Sonia Nurdiansa, staf Departemen Public Relation (PR) yang menjadi salah satu partisipan KUBUS In Action 5.0, mengingat jelas setiap jengkal medan yang dia lewati.
“Jalan ke sana tuh kecil banget, cuma cukup buat satu motor. Jadi kalau papasan, harus ada yang ngalah. Nah ngalahnya tuh bukan cuma minggir, tapi kadang nyelip ke sela-sela tambak,” ceritanya sambil ketawa getir.
Tiga jenis jalan menyambut pengendara: tanah becek yang bikin ban licin, paving rusak yang lebih mirip puzzle 3D, dan cor-coran bekas proyek entah tahun berapa yang menyisakan besi tulangan menjulang ke atas. “Rawan bocor? Rawannya udah lewat. Waktu balik, ban saya memang beneran bocor. Hahaha.”
Belum cukup? Masih ada jembatan kayu seadanya—yang beberapa bagian sudah keropos dimakan waktu dan air. Cahaya jalan? Jangan harap. Medan sepanjang 30-60 menit ini seperti uji nyali versi masyarakat sipil.
Tapi di balik kerasnya akses, Sonia justru terkesan dengan hal-hal yang tampaknya sepele namun menyimpan nilai besar.
“Bayangin aja, harga bahan pokok di sana bisa sama kayak di Surabaya. Padahal semua dibawa pakai perahu, ongkos pulang-perginya bisa setengah juta. Tapi nggak ada tuh harga telur sebiji sepuluh ribu.”
Fenomena banjir harian juga jadi hal yang membuatnya merenung. Setiap siang, air mulai naik. Baru setiap sore, air kembali surut. Aktivitas warga tetap berjalan seolah genangan air hanya bagian dari rutinitas.
“Kemarin ada warga yang meninggal, dan jenazahnya harus nunggu banjir surut buat dibawa pulang. Iya, mayatnya belum bisa masuk dusun karena jalan banjir dan pemakamannya ikut tergenang,” ujarnya.
Warga pun punya sistem solidaritas: iuran lima ribu rupiah dari setiap rumah untuk membantu keluarga yang ditinggal. “Hal-hal kayak gini yang bikin saya merasa: pengabdian itu nggak selalu tentang kita datang memberi, tapi lebih banyak belajar mengamati sekitar,” tutup Sonia.
Perjalanan Jalur Air: “Saya nungguin buaya 4 meter nongol, tapi malah dapet healing hati.”—Najwa
Beda jalur, beda cerita. Najwa Miftah Rania, staf Departemen Human Resources (HR) yang menempuh perjalanan jalur air. Perjalanan naik kapal diesel selama 40 menit menyusuri sungai menuju muara, dengan sisi kiri-kanan yang dihiasi eceng gondok dan cerita horor yang cukup menyegarkan: “Konon ada penampakan buaya 4 meter yang sempat naik ke darat”.
“Waktu dengar kabar itu, saya excited banget. Bayangin dong, bisa liat buaya langsung gitu. Tapi ternyata saya nggak berjodoh ketemu. Mungkin semesta melindungi,” katanya sambil tertawa.
Tapi kegagalan bertemu buaya itu terbayar lunas dengan pemandangan yang menurutnya “lebih healing daripada liburan semester genap yang penuh skripsi”.
Najwa tak hanya datang sebagai pengamat, tapi juga pemateri pada hari ketiga pengabdian. Materinya tentang kesehatan wanita usia subur, ibu hamil, dan balita. Tema yang ternyata mengundang antusias luar biasa dari para ibu-ibu Dusun Kepetingan.
“Bukan cuma soal gizi, tapi juga soal mitos yang udah mengakar. Kayak larangan makan nanas atau minum air es saat hamil. Beberapa dari mereka masih percaya,” ungkap Najwa.
Menurutnya, membongkar mitos tanpa merendahkan budaya lokal adalah tantangan tersendiri. “Kita datang bukan buat mencabut akar, tapi buat menanam pemahaman baru pelan-pelan. Supaya kesehatan ibu dan anak tetap aman, tanpa merasa keyakinan mereka diserang.”
Urgensi Kepentingan Dusun Kepetingan
Pengabdian di Dusun Kepetingan bukan sekadar perjalanan ke tempat terpencil. Ia seperti cermin yang memantulkan kenyataan: bahwa pembangunan dan pemahaman tak selalu datang bersamaan.
Dusun ini bukan dusun yang tertinggal karena pilihan mereka, tapi karena dunia sering lupa menengok ke arah mereka.
Sonia dan Najwa datang dari dua jalur berbeda, tapi mereka sama-sama pulang dengan pelajaran yang tak bisa didapat dari kampus atau modul dosen. Di Kepetingan, mereka bertemu warga yang kuat, solidaritas yang hidup, dan tantangan infrastruktur yang terus diam, meski waktu terus bergerak.


