Setiap kali Hari Kartini tiba, narasi tentang perempuan multitasking kembali muncul dan dipuja-puji. Mereka yang bisa bekerja, mengurus rumah, merawat anak, aktif dalam komunitas, bahkan tetap tampil memesona di media sosial, kerap disebut sebagai representasi perempuan hebat masa kini. Tapi di balik pujian itu, ada beban tak kasatmata yang justru membebani banyak perempuan: standar kesempurnaan yang menuntut mereka melakukan segalanya. Glorifikasi terhadap perempuan multitasking menyimpan jebakan sistemik yang serius: ia adalah bentuk baru dari beban ganda yang dibungkus dengan kata-kata manis seperti “hebat”, “luar biasa”, dan “mandiri”. Apakah ini benar-benar bentuk emansipasi? Atau justru wajah baru dari ekspektasi patriarkal yang belum selesai?
🔍 Perempuan Multitasking: Emansipasi atau Ilusi?
Slogan “perempuan hebat bisa segalanya” bukanlah bentuk dukungan, tetapi tekanan sosial. Perempuan didorong untuk bekerja profesional layaknya laki-laki, akan tetapi tetap saja masih diharapkan mengurus keluarga secara sempurna. Bila gagal di salah satu aspek, mereka dicap “tidak ideal”, seolah perempuan harus jadi manusia super untuk diakui.
Lebih parah lagi, dalam budaya patriarki, keberhasilan perempuan multitasking sering kali tidak dikaitkan dengan sistem pendukung (seperti pembagian kerja domestik yang adil), melainkan dengan pengorbanan personal. Ia menjadi cerita tentang “keikhlasan ibu”, bukan cerita tentang sistem yang sudah waktunya berubah.
🎯 Beban Ganda dalam Narasi Perempuan Multitasking
Fenomena multitasking ini tidak adil jika dilihat hanya dari kacamata perempuan kelas menengah ke atas. Bagaimana dengan buruh pabrik perempuan yang harus lembur, lalu pulang mengurus anak dan rumah kontrakan sempit? Apakah mereka tidak “hebat” hanya karena tak sempat tersenyum di media sosial?
Beban ganda justru paling berat dirasakan oleh perempuan dari kelas bawah. Mereka terjebak dalam sistem kerja eksploitatif dan sistem keluarga yang masih konservatif. Glorifikasi multitasking dalam kampanye iklan dan seminar motivasi tak menyentuh kenyataan hidup mereka.
📌 Mengubah Narasi tentang Perempuan Hebat
Sudah saatnya kita ubah cara pandang terhadap “perempuan hebat.” Emansipasi tidak berarti perempuan harus sanggup melakukan segalanya sekaligus. Emansipasi berarti perempuan bebas memilih: apakah ia ingin bekerja, menjadi ibu rumah tangga, menunda pernikahan, atau bahkan tidak memiliki anak—tanpa dihakimi.
Kartini bukan simbol perempuan multitasking. Ia adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang membatasi pilihan perempuan.
So, Sobat Unggul! Masih menyemarakkan momentum Hari Kartini, mari berhenti menaruh beban sosial baru kepada perempuan dengan dalih penghargaan. Mari ciptakan sistem yang adil, ruang yang setara, dan budaya yang tidak mengukur perempuan dari seberapa banyak yang bisa ia tanggung—tetapi seberapa bebas ia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.
Karena perempuan tidak diciptakan untuk multitasking. Perempuan diciptakan untuk hidup—utuh, bebas, dan bermakna.